Tantangan Otoritas Lokal: Mengapa Penegakan Aturan Anti-Eksploitasi di Daerah Sulit Dilakukan?

Penegakan aturan anti-eksploitasi anak seringkali menghadapi hambatan besar di tingkat daerah. Tantangan Otoritas lokal tidak hanya bersumber dari keterbatasan sumber daya, tetapi juga dari resistensi budaya dan politik lokal. Meskipun undang-undang Perlindungan Anak sudah jelas, penerapannya di kabupaten atau kota kecil sering terbentur tembok birokrasi yang lamban, minimnya koordinasi antarlembaga, dan intervensi kepentingan bisnis atau politik setempat.

Salah satu Tantangan Otoritas terbesar adalah keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Unit Perlindungan Anak di daerah seringkali kekurangan pekerja sosial, penyidik, dan pendamping hukum yang profesional. Jumlah inspektur ketenagakerjaan yang minim membuat pengawasan terhadap praktik Kerja Paksa di sektor informal, seperti perkebunan atau pasar, hampir tidak efektif. Tanpa dana yang memadai, program pencegahan dan rehabilitasi sulit berjalan optimal.

Tantangan Otoritas juga datang dari faktor sosial budaya yang kental. Di banyak daerah, praktik Perkawinan Dini atau Tradisi Nguli di pesantren masih dianggap sebagai norma, bukan pelanggaran hukum. Aparat penegak hukum lokal seringkali enggan menindak tegas karena khawatir berhadapan dengan tokoh adat atau tokoh agama yang berpengaruh. Sikap toleransi budaya ini secara tidak langsung melegitimasi Eksploitasi Anak di tingkat komunitas.

Kompleksitas Tantangan Otoritas diperburuk oleh intervensi kepentingan politik dan bisnis. Tempat usaha yang melanggar aturan, terutama di sektor hiburan malam atau pertambangan ilegal, sering kali dibekingi oleh oknum-oknum berkuasa. Praktik suap dan korupsi membuat sanksi hukum tumpul. Akibatnya, alih-alih dicabut, izin usaha yang melanggar standar Zero Tolerance justru diperpanjang, merugikan anak.

Untuk mengatasi masalah ini, Reformasi Kesejahteraan sosial di tingkat daerah harus didorong. Pemerintah pusat harus menjamin alokasi dana khusus untuk penguatan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). KPAD harus diberikan kewenangan yang lebih besar dan independen dalam melakukan pemantauan, mediasi, dan merekomendasikan penindakan hukum kepada aparat penegak hukum.

Pelatihan wajib mengenai sensitivitas Perlindungan Anak dan penanganan trauma harus diberikan kepada semua aparat daerah, termasuk kepolisian sektor, petugas dinas sosial, dan perangkat desa. Edukasi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dari penyelesaian damai atau mediasi menjadi penegakan hukum yang berorientasi pada kepentingan terbaik anak.

Kolaborasi antara lembaga vertikal dan horizontal harus ditingkatkan. Pola kerja sama antara Kejaksaan Tinggi dan Polda dengan KPAD di daerah harus diresmikan untuk memastikan penanganan kasus eksploitasi berjalan cepat dan terpadu. Dukungan Digital Forensik dari pusat juga krusial untuk kasus eksploitasi online di daerah.

Kesimpulannya, mengatasi Tantangan Otoritas lokal adalah kunci untuk mewujudkan Zero Tolerance terhadap eksploitasi anak. Dengan memperkuat integritas aparat, menambah sumber daya, dan melawan tekanan budaya serta politik, hukum Perlindungan Anak akan dapat ditegakkan secara efektif, menjamin setiap anak di seluruh Indonesia tumbuh dalam keselamatan. Sumber

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org